Selasa, 01 Desember 2009

Profil Kota Bandar Lampung


Wilayah Kota Bandar Lampung secara geografis terletak antara 105o12 -105o18 BT dan antara 5o24 -5o32 LS, daerah ini berbatasan dengan Kampung Lampung Selatan di utara, selatan, barat, dan timur. Luas wilayah Kota Bandar Lampung adalah 192,96 Km2. Secara adaministratif, daerah ini terbagi menjadi 13 kecamatan dan 98 Kelurahan.



Dilihat dari segi ekonomi, total nilai PDRB menurut harga konstan yang dicapai daerah ini pada tahun 2006 sebesar 5.103.379 (dalam jutaan rupiah) dengan konstribusi terbesar datang dari sektor perdagangan, hotel, dan restoran 19,12%, disusul kemudaian dari sektor bank/ keuangan 17,50%, dan dari sektor industri pengolahan 17,22%. Total nilai ekspor non migas yang dicapai Kota Bandar Lampung hingga tahun 2006 sebesar 4.581.640 ton, dengan konstribusi terbesar datanng dari komoditi kopi (140.295 ton), karet (15.005 ton), dan kayu (1524 ton).Daerah ini mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan antara lain di sektor perkebunan dengan komoditi utama yang dihasilkan berupa cengkeh, kakao, kopi robusta, kelapa dalam, kelapa hibrida. Kontributor utama perekonomian daerah ini adalah disektor industri pengolahan. Terdapat berbagai industri yang bahan bakunya berasal dari bahan tanaman dan perkebunan, industri tersebut sebagian besar merupakan industri rumah tangga yang mengolah kopi, pisang menjadi keripik pisang, dan lada. Hasil industri ini kemudian menjadi komoditi perdagangan dan ekspor. Perdagangan menjadi tumpuan mata pencaharian penduduk setelah pertanian.



Keberadaan infrastruktur berupa jalan darat yang memadai akan lebih memudahkan para pedagang utuk berinteraksi sehingga memperlancar baik arus barang maupun jasa, daerah ini juga memiliki berbagai sarana dan prasarana pendukung diantaranya terdapat tiga pelabuahan utama yaitu Pelabuhan Labuhan Maringgai, Pelabuhan Teluk Betung dan Pelabuhan Khusus Tarakan, terdapat juga sarana pembangkit tenaga listrik, air bersih, gas dan jaringan telekomunikasi.



Sumber Data:

Lampung Dalam Angka 2004-2005(31-12-2005) BPS Lampung, dalam :


11 Agustus 2008


Sumber Gmbar:

Peta Bandar Lampung


View Larger Map

Bandar Lampung Kota Banjir.....!!!!

Logika yang ada di benak kita adalah daerah yang berada di ketinggian 100 mdpl pasti tidak rawan banjir, nyatanya logika ini terbalik di Bandar Lampung. Kota Bandar Lampung yang berada di ketinggian + 110 mdpl ternyata selalu tergenang air dan di beberapa tempat sering terendam banjir.

Tidak heran jika kita melihat pemandangan Bandar Lampung yang becek, tergenang air dan banjir di mana-mana jika turun hujan, walaupun hujan yang turun tidak lebat. Jika turun hujan, kita akan menemukan banyak sampah berserakan di jalan-jalan dan lumpur di daerah pemukiman, bahkan kita pasti mencium bau tak sedap jika melintasi genangan-genangan air tersebut.

Penyebab banjir di Bandar Lampung cukup kompleks, yaitu buruknya curah hujan yang cukup tinggi, sistem drainase kota, berkurangnya luas bantaran sungai, kebiasaan buruk masyarakat membuang sampah sembarangan, dan berkurangnya daerah terbuka hijau. Dapat dikatakan bahwa Bandar Lampung terendam banjir lebih disebabkan karena faktor manusia.


Tentu saja kebijakan Pemkot (pemerintah kota) menjadi akar masalahnya. Buktinya, banyak izin yang diberikan untuk pengembangan kawasan komersil yang menghancurkan kawasan terbuka hijau, pembangunan sistem drainase kota yang asal-asalan, pemberian IMB bagi pemukiman di bantaran sungai, buruknya manajemen pengelolaan sampah, dan tidak dipatuhinya rencana tata ruang wilayah yang telah disusun. Hasilnya, pembangunan kota Bandar Lampung berjalan sporadis dan bersifat menghancurkan lingkungan hidup.

Pada 18 Desember 2008 lalu, sebenarnya Pemkot Bandar Lampung telah mendapat pelajaran berharga (tetapi bencana bagi masyarakatnya) dengan bencana banjir bandang yang merusak hampir 1/3 kawasan kota dengan kerugian material hingga ratusan milyar rupiah. Namun, ternyata pelajaran berharga itu tidak membuat Pemkot Bandar Lampung peduli dan sensitif terhadap banjir. Hingga kini, proses tanggap darurat pasca banjir bandang tidak dijalankan, perbaikan infrastruktur yang rusak tidak dilaksanakan dan Pemkot Bandar Lampung tidak mengalokasikan dana tanggap bencana dalam APBD walaupun sudah mengetahui bahwa 34 kelurahan di Bandar Lampung termasuk daerah rawan banjir.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Pemkot Bandar Lampung gagal dalam mengelola tetesan air. Jadi, wajar saja kalau Bandar Lampung dinobatkan sebagai "kota banjir".


Sumber:
Mart Widie
Suara Komunitas (suarakomunitas.combine.or.id) dalam :
http://www.suarakorbanbencana.org/index.php/artikel/news/12-bandar-lampung-kota-banjir
4 Februari 2009

Ekonomi Lampung Tumbuh 5,42 Persen

BPS Lampung menyatakan, Lampung mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 5,42 persen sampai dengan triwulan ketiga 2009. Pemprov Lampung seharusnya terus memerhatikan sektor pertanian karena sektor ini merupakan penyumbang terbesar pada perekonomian Lampung.

Kepala Bidang Neraca Wilayah dan Analisis Statistik BPS Lampung Budi Cahyono, Selasa (10/11), mengatakan, triwulan ketiga 2009 perekonomian Lampung tumbuh 0,91 persen dari triwulan kedua 2009.
Dari sembilan sektor, tercatat delapan sektor mengalami pertumbuhan positif dan satu sektor tumbuh negatif.

Pertumbuhan terbesar terjadi pada sektor angkutan dan komunikasi sebesar 12,02 persen, diikuti sektor perdagangan, hotel, dan restoran (7,24 persen), dan sektor jasa-jasa (6,66 persen). Sektor yang tumbuh negatif adalah sektor pertambangan dan penggalian yang tumbuh minus 9,53 persen.

Akan tetapi, apabila dilihat dari kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Lampung, maka sektor pertanian memberikan kontribusi terbesar 1,89 persen, diikuti sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 1,12 persen, dan sektor industri pengolahan sebesar 0,80 persen.
Budi mengatakan, dengan hasil utama dari pertanian, seharusnya Pemprov Lampung lebih banyak mendorong pertumbuhan di sektor pertanian.

Hal itu karena dilihat dari struktur ekonomi Lampung, khususnya lapangan usaha, sektor pertanian masih memberikan kontribusi terbesar, sekitar 40,12 persen. Kemudian sektor perdagangan, hotel, restoran mendukung 13,53 persen dan sektor industri pengolahan mendukung sebesar 10,24 persen.

Selain itu, BPS Lampung juga melihat pertumbuhan ekonomi Lampung tetap dipengaruhi konsumsi lembaga swasta nirlaba, konsumsi pemerintah, konsumsi pembentukan modal tetap, dan konsumsi rumah tangga turut memengaruhi dari sisi pengeluaran.

Sampai dengan triwulan ketiga 2009, konsumsi lembaga swasta nirlaba tumbuh 13,10 persen, konsumsi pemerintah 3,75 persen, pembentukan modal tetap bruto tumbuh 3,5 persen, dan konsumsi rumah tangga tumbuh 3,16 persen.


Naik

Lebih lanjut Budi mengatakan, apabila dibandingkan pengeluaran pada triwulan ketiga dan triwulan kedua 2009 terlihat jelas konsumsi rumah tangga naik Rp 845,64 miliar, pembentukan modal tetap bruto naik Rp 537,14 miliar, konsumsi pemerintah naik Rp 521,13 miliar, dan net ekspor naik Rp 255,97 miliar.

”Pada sektor rumah tangga, naiknya komponen konsumsi rumah tangga terjadi karena pada triwulan ketiga bertepatan dengan tahun ajaran baru, bulan Ramadhan, dan Lebaran,” ujar Budi. (HLN)

Sumber :
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/11/03285375/ekonomi.lampung.tumbuh.542.persen
11 November 2009

Pemikir(an) Kebudayaan Lampung

Terus terang, saya berharap banyak mendapatkan "sesuatu" ketika menghadiri peluncuran buku Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran (Bandar Lampung, Universitas Lampung, 2006) karya H. Rizani Puspawidjaya, S.H. di Hotel Sheraton, Bandar Lampung, 19 Oktober 2006. Meski telat saya dapat menangkap substansi dari acara ini: tak lebih dari membicarakan masalah lama yang -- menurut saya -- sudah terlalu sering dibahas. Ah, mungkin saya terlalu berharap banyak pada pertemuan itu.
Barangkali juga saya terlalu terobsesi ingin menemukan hal yang terasa menggairahkan dari apa yang saya rumuskan dengan nama "kebudayaan Lampung". Sungguh, terlalu minim untuk berbicara secara lebih komprehensif tentang kebudayaan Lampung. Buku Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran terlalu sedikit untuk menjawab rasa ingin tahu saya tentang: Apa, siapa, dan bagaimanakah manusia dan kebudayaan Lampung itu? Relatif tidak ada yang baru -- minimal interpretasi baru tentang kebudayaan Lampung -- dari isi buku ini.
Kalau dirujuk, masalah-masalah yang dibahas tidak jauh dari hasil diskusi/seminar yang melibatkan, antara lain Prof. Hilman Hadikusuma (alm.), Anshori Djausal, A. Effendi Sanusi, Sanusi Husin, Firdaus Augustian, dan Rizani Puspawidjaya sendiri selama ini. Semua pembicaraan itu sebenarnya sudah terangkum dalam buku Adat Istiadat Lampung (diterbitkan Kanwil Depdikbud Lampung, 1979/1980; cetak ulang 1985/1986) yang ditulis Hilman Hadikusuma dkk. Sebenarnya, tidak ada persoalan kalau tak ada buku-buku: Manusia Indonesia (karya Mochtar Lubis) yang disusul buku-buku tentang manusia/kebudayaan Jawa, Sunda, Bugis/Makassar, Batak, Minangkabau, dan lain-lain yang ditulis para sejarahwan-sosiolog-antropolog. Dan, baru-baru ini terbit dua buku antropologi dan sejarah terjemahan: Bugis (karya Christian Pelras) dan Kerajaan Aceh, Zaman Iskandar Muda 1607-1636 (karya Denys Lombard).
Membaca buku-buku textbook itu, saya merasa semakin "cemburu" ketika dihadapkan pada sebuah konsep yang mahakomplek tentang manusia/masyarakat dan kebudayaan Lampung. Referensi yang sudah ada -- menurut saya -- sangat tidak cukup untuk menerangkan konsep itu. Kebanyakan ulun Lampung hanya bicara hal-hal kecil tentang sastra lisan Lampung, bahasa Lampung, kesenian Lampung, piil pesenggiri, adat istiadat, kebiasaan, serta hal-hal lain yang serbakecil semacam Menara Siger, perbedaan Pepadun dan Peminggir (menurut textbook bukan Pesisir atau Saibatin!), dan pembagian orang Lampung secara sektarian (orang Abung, orang Menggala, orang Pubian, orang Sungkai, orang Way Kanan, orang Belalau, dll) yang tidak akan mampu menerangkan apa yang dimaksud dengan kebudayaan Lampung secara general.
Kebudayaan Lampung?
Sebelum masuk terlalu jauh, saya ingin mengutipkan sebuah definisi tentang kebudayaan. Soalnya, konsep ini terlalu sering disempitkan artinya dengan kesenian, adat-istiadat, atau apalah.Kebudayaan dapat diartikan sebagai suatu sikap dan orientasi nilai yang mempengaruhi pemikiran dan mendorong ke suatu tindakan; serta seni budaya sebagai wujud material kebudayaan yang dapat menghasilkan interaksi secara dinamis dan reflektif antara jati diri bangsa dan modernitas.
Wujud konkretnya, antara lain mendorong tumbuhnya rasa percaya di antara sesama warga bangsa, disiplin, meletakkan pendidikan dalam pusat kehidupan, dan tidak hidup konsumtif. Kebudayaan bisa diteropong dari berbagai sudut pandang. Tetapi, setidaknya ada tiga dimensi yang dicakup kebudayaan. Ketiga dimensi itu adalah dimensi ide, dimensi material, dan dimensi perilaku. Dimensi ide menyangkut nilai-nilai kehidupan, tujuan-tujuan, dan cita-cita yang kadang-kadang bersifat utopis dan dikemukakan sebagai sesuatu arahan untuk bergerak maju. Budaya material berwujud ke dalam, antara lain seni dan bentuk-bentuk peninggalan masa lalu seperti karya arsitektur, prasasti, dan bangunan candi.
Dimensi perilaku adalah wujud yang hadir sehari-hari, termasuk di dalamnya bahasa. Saat ini ada kecenderungan kebudayaan diasingkan dari fakta sosial, ekonomi, dan politik. Tetapi, pada saat yang sama kebudayaan menemukan perannya sebagai pentas untuk merayakan gaya hidup yang menakutkan dan juga membius (Ninuk Mardiana Pambudy, Kompas, Senin, 31 Juli 2006). Definisi kebudayaan ini menunjukkan kepada kita betapa luasnya cakupan konsep kebudayaan. Maka, ketika kita disodorkan sebuah pertanyaan tentang apa dan bagaimana kebudayaan Lampung itu, tidak bisa tidak tercakup di dalamnya dimensi ide, dimensi material, dan dimensi perilaku. Pertanyaannya, dimensi ide, material, dan perilaku apakah yang khas yang melekat pada ulun Lampung (masyarakat Lampung secara kolektif)? Saya pikir, tidak mudah menggambarkan masalah ini secara sistematis, komprehensif, dan ilmiah; yang bukan berdasarkan prasangka.
Piil Pesenggiri
Bagian yang kembali menyulut perdebatan adalah konsep piil pesenggiri. Rizani Puspawijaya menuturkan, pada 1988, saat digelar Dialog Kebudayaan Daerah Lampung, Rizani Puspawijaya dan almarhum Hilman Hadikusuma berusaha mereaktualisasikan konsep piil pesenggiri sebagai kearifan budaya Lampung. Ketika itu, para intelektual Lampung masih sulit menerimanya dengan berbagai argumentasi penolakan. "Saya yang pertama sekali memperkenalkan konsep filsafat piil pesenggiri dalam skripsi gelar sarjana. Bersama almarhum Prof. Hilman Hadikusuma, konsep itu terus dipelajari dan dikaji sehingga bisa dirumuskan unsur-unsur pembentuk piil pesenggiri yang terdiri dari juluk adek, nemui nyimah, nengah nyappur, sakai-sambaiyan, dan titie gemanttei," kata Rizani Puspawidjaja (Lampung Post, 20 Oktober 2006). Beberapa minggu setelah itu, Firdaus Augustian menulis "Puzzle Bernama Piil Pesenggiri" (Lampung Post, 11 November 2006) yang menggugat piil pesenggiri.
"Rasanya terlalu berlebihan kalau kita mengatakan tatanan moral piil pesenggiri yang merupakan inspirasi dan motivasi berpikir dan bersikap masyarakat Lampung, hanya dikenal masyarakat Lampung. Kebudayaan lain pun apalagi pada masyarakat tradisional amat akrab terhadap tatanan moral ini. Bahkan, tatanan moral ini telah built in dalam kehidupan mereka," kata Firdaus. Tapi segera saja Fachruddin (Lampung Post, 18 November 2006) menampik dengan mengatakan, piil pesenggiri sudah menjadi milik perguruan tinggi, diuji para guru besar dengan pendekatan akademis, bukan sekadar puzzle dengan tantangan yang relatif ringan. Piil pesenggiri sebuah keseriusan, seriusnya mereka yang mengidamkan berdirinya Kesultanan Islam Lampung, di mana piil pesenggiri sebagai dasar nilainya. Masih menurut Fachruddin, berbeda dengan piil pesenggiri yang dipanuti masyarakat Lampung.
Banten memberikan advokasi dengan kitab Kuntara Rajaniti, seperti yang diturunkan kepada Keratuan Darah Putih, yang diniatkan untuk masyarakat mulai dari Kalianda, Padang Cermin, Cukuh Balak, hingga Semaka. Sebenarnya para pimpinan adat telah siap mendukung berdirinya Kesultanan Islam Lampung bersama Keratuan Pugung. "Saya pernah dikejutkan ketika menghadiri upacara anjau marga di daerah Cukuh Balak, ternyata ada seorang tokoh adat yang berpidato dengan inti pidato: khepot delom mufakat, khopkhama delom bekekhja, tetengah tetanggah, bupudak waya, bupiil bupesenggir. Berarti di daerah pesisir pun dikenal piil pesenggiri, kendati sedikit berbeda. Tetapi mengapa kita harus sibuk mencari perbedaan, bukankah lebih baik kita mencari persamaan agar kekayaan yang masih terpendam ini dapat digali sebagai sumbangan bagi kemajuan ummat manusia," tulis Fachruddin. Begini -- ini menurut saya -- masih dibutuhkan penelitian (reseach) mendalam soal piil pesenggiri. Saya pikir, piil pesenggiri bukan kitab suci yang tidak bisa dipermasalahkan. Misalnya, masih dibutuhkan bukti yang lebih banyak lagi soal betapa orang Lampung tak bisa lepas dari piil pesenggirinya. Syukur-syukur ada interpretasi atau tafsir baru piil pesenggiri. Ada tidak ada, yang jelas dia sudah menjadi wacana publik, menjadi bagian dari konsep adat-istiadat Lampung dan sebagian kecil dari konsep besar bernama kebudayaan Lampung.
Pemikir(an) Kebudayaan Lampung?
Saya sebenarnya gembira ketika Rizani mengatakan, orang Lampung itu terbuka, demokratis, dan ada konsep kepemimpinan Lampung? Wah, saya pikir ini kan kajian yang menarik tentang konsep-konsep kekuasaan Lampung (sebagai contoh, konsep kekuasaan Jawa sudah jelas dipaparkan oleh Benedict Anderson, Cliffort Geerth, dll). Sayangnya, tidak ada yang mengelaborasi lebih jauh, tentang bagaimana sikap terbukanya orang Lampung itu, dimana letak demokratis orang Lampung, dan bagaimana contoh kepemimpinan Lampung itu. Saya hanya memimpikan penelitian dan diskusi sosial dan kebudayaan Lampung marak. Dengan kata lain, Lampung memiliki banyak pemikir dan pemikiran kebudayaan Lampung. Sehingga orang tak lagi berkata, "Kebudayaan Lampung, Api Muneh" (Udo Z. Karzi, Lampung Post, 23 Oktober 2005). Cuma siapakah yang mau memulai? Pemerintah daerah yang lebih berorientasi "proyek" susah diharap. Yang paling mungkin adalah perguruan tinggi, terutama Universitas Lampung (baca: Udo Z. Karzi, "Unila sebagai Pusat Kebudayaan Lampung", Lampung Post, 8 April 2006), yang paling kompeten.
Atau adakah orang atau lembaga yang lebih tepat? Pemikiran kebudayaan Lampung hanya akan lahir dari pemahaman konsep kebudayaan yang benar dan dari riset dengan metodologi yang benar oleh peneliti/pemikir kebudayaan yang teliti, tekun, dan konsisten. Tentu saja, gagasan kebudayaan yang muncul tidak berasal dari pemikiran sempit dan sektarian yang membagi-bagi Lampung menjadi bagian yang kecil-kecil: adat Pepadun dan adat Peminggir, bahasa dialek A (api) dan O (nyo), Menggala, Abung, Pepadun, Melinting, Belalau, Way Kanan, Kalianda, dan seterusnya. Budaya Lampung. Bahasa Lampung. Adat Lampung. Kesenian Lampung. Sastra Lampung.... dst. Lampung! Saya menulis dalam bahasa Lampung. Tidak saya namai bahasa Lampung Pesisir. Cukup saya katakan: memakai bahasa Lampung. Bisakah kita -- ulun Lampung -- berbicara dengan bahasa kesatuan: Lampung (!) untuk kemudian secara bersama merumuskan kebudayaan Lampung? Sungguh, belum ada lagi pengganti pakar hukum adat Lampung almarhum Prof. Hilman Hadikusuma! *
Sumber :
Udo Z. Karzi, ulun Lampung, tinggal di Pangkalan Bun, Borneo
26 November 2006

Taman Budaya Lampung Semakin Kumu

Taman Budaya Lampung tampak semakin kumuh dan semrawut, padahal taman itu memiliki andil besar dalam pelestarian dan pembinaan seni, khususnya seni daerah Lampung. "Pemprov Lampung kurang perduli terhadap keberadaan taman budaya ini. Buktinya, fasilitas minim dan kebersihan tidak terjaga. Setiap usulan yang kami sampaikan, jarang mendapatkan tanggapan dari pemerintah," kata salah satu pengelola sanggar di Taman Budaya Lampung, Arif, di Bandarlampung, Kamis. Menurut dia, Taman Budaya Lampung kurang memiliki peralatan musik daerah. "Seharusnya taman budaya tidak hanya sekedar memberikan pelayanan penyewaan ruangan saja, tetapi dititikberatkan pada pembinaan yang mengarah pada seni budaya yang menjadi ikon Provinsi Lampung," katanya. Sejumlah warga yang sering mengunjungi taman budaya itu juga mengeluhkan kekumuhan tempat tersebut.

"Tempat ini ramai, banyak masyarakat yang menggunakan taman budaya sebagai tempat acara seremoni. Tapi sayang, tempat ini tidak terawat sehingga kumuh," kata Toni, warga yang tinggal di sekitar Taman Budaya itu. Berdasarkan pantauan, Taman Budaya Lampung memang kurang terawat dan kumuh. Hal itu terlihat dari cat bangunannya yang sudah memudar dan sampah yang berserakan. Taman Budaya Lampung memiliki beberapa ruangan, di antaranya adalah gedung utama, wisma, teater tertutup, teater terbuka dan ruang pameran.

Menurut Kasubid TU Taman Budaya Lampung, Marzor, pengunjung cukup ramai sehingga target Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang ditetapkan selalu tercapai. Target PAD per tahun mencapai Rp12,5 juta. Dia mengatakan, pihaknya kekurangan dana untuk melengkapi fasilitas di Taman Budaya tersebut. Taman Budaya diresmikan pada 16 Agustus 1978 oleh Dirjen Kebudayaan Prof.Dr.Ida Bagus Matri. Pada April 1991, Taman Budaya resmi menjadi UPTD Kebudayaan. Sementara itu, Pasar Seni di kawasan Enggal Bandarlampung juga terlihat kumuh dan semrawut. "Tempat ini mati suri, jarang ada event yang digelar di tempat ini.

Pondok yang semestinya dipergunakan untuk galeri tempat produksi seni, berubah sebagai tempat kost yang hanya dipergunakan untuk tidur saja," kata satu pemilik galeri lukis di Pasar Seni itu, Eel. Menurut dia, Pasar Seni seharusnya dikelola tepat guna, bukan berubah fungsi menjadi tempat tinggal. Ia juga mengatakan, Dewan Kesenian Lampung (DKL) tidak memberikan solusi sama sekali untuk perbaikan Pasar Seni itu. "Bahkan DKL terkesan kacang lupa kulitnya, event yang seharusnya digelar di tempat ini, justru dialihkan ke tempat lain. Padahal di Pasar Seni ini terdapat on stage yang cukup luas," katanya.

Pasar Seni mempunyai 21 pondok galeri, tetapi hanya sembilan saja yang terisi, seperti sanggar tari,lukisan serta galeri pernak-pernik, sedangkan sisanya digunakan sebagai tempat singgah. Sehubungan itu, ia meminta pemerintah daerah, terutama Dinas Pariwisata, untuk serius mengembangkan Pasar Seni itu. Pengelola sanggar lainnya, Vito, juga meminta pemerintah untuk memberikan pembinaan dan penyaluran produk seni para seniman. "Ini miris, tempatnya berada di jantung kota, tetapi sepi, terkesan tak berpenghuni. Penerangan juga kurang sehingga terkesan angker pada malam hari," katanya. (Ant/OL-06)

Sumber :
http://www.mediaindonesia.com/read/2009/06/04/78121/126/101/Taman-Budaya-Lampung-Semakin-Kumuh
4 Juni 2009

Pariwisata Lampung Sangat Potensial

Provinsi Lampung yang dijuluki Sai Bumi Ruwa Jurai ( Satu bangsa Agung, yang dihuni jurai adat Pepadun dan jurai adat Saibatin), sangat kaya akan ragam budaya serta ditambah pula keindahan alamnya yang beraneka ragam. Potensi ini bila di kembangkan niscaya kedepannya akan bisa mendatangkan Pendapatan asli aderah (PAD) yang besar bagi Provinsi Lampung dari sektor pariwisata. Hal ini dikatakan oleh Denrinal, SE, salah seorang pengusaha muda yang juga pemerhati kebudayaan Lampung. “

Kalau dilihat dari sumber daya alam yang tersedia di provinsi Lampung, rasanya tidak kalah indahnya dengan Bali ataupun Lombok yang saat ini pariwisatanya telah dikenal maju dan daerahnya ramai dikunjungi wisatawan baik domistik maupun mancanegara,” jelas Deden- panggilan akrab Denrinal- pada KL diruang kerjanya, selasa ( 10/2). Namun tambahnya potensi pariwisata Lampung yang demikian besar itu belum bisa dimanfaatkan secara optimal oleh pemerintah Provinsi Lampung.

Belum maksimalnya pengembangan pariwisata Lampung kata Deden, disebabkan beberapa faktor salah satunya adalah belum adanya investor yang berani menanamkan modalnya untuk pariwisata di Provinsi Lampung dalam sekala besar.” Ini tentunya merupakan Pekerjaan Rumah ( PR) tersendiri pemerintah Provinsi Lampung untuk mendatangkan investor dalam rangka pengembangan dunia pariwisata Lampung,” jelas Deden, yang juga calon anggota DPD Lampung nomor urut 19 untuk pemilu 9 april 2009 nanti.

Deden juga berasumsi, jika dunia Pariwisata Lampung bisa dikelola dengan benar maka kedepan bukan tidak mungkin sektor pariwisata bisa menjadi penyumbang PAD yang besar untuk Lampung. “ Pariwisata bila dikelola dengan benar maka hal ini bisa menjadi Multi efek player ( bersinggungan secara luas ) Bagi dunia usaha lainya ,’ Jelas Putra bungsu Romudin Adam mantan Kabag Humas Pemda Kota Bandarlampung ini dengan ramah. Baik itu untuk usaha kecil tambahnya, seperti kerajinan khas Lampung maupun dunia usaha perhotelan. Provinsi Lampung Menurut Kacamata Deden, memiliki keunikan alam dan budaya yang mungkin tidak bisa dijumpai di daerah lain. “ Kita punya Menara Siger yang sangat artistik dan fenomenal, kita juga punya Taman wisata Gajah Way Kambas,” jelasnya. Dimana tambah Deden, Way Kambas merupakan tempat sekolah resmi untuk mendidik Gajah yang hanya ada satu satunya di Indonesia.

Lampung juga menurut punya gugusan pantai yang indah dan unik.” Bila kita mempehatikan lingkaran pantai yang ada di kota Bandarlampung, kita ibarat melihat mutiara yang melingkar indah,” jelasnya. Hal ini kata Deden, merupakan harta karun yang terpendam, yang tentunya menunggu investor –investor yang mau menanamkan modalnya di sektor ini. Keindahan alam juga kata Deden ditunjang juga oleh kebudayaan Lampung yang adiluhung (bernilai sangat tinggi), Seperti adanya kain tapis dan dan adapt budaya pernikahan masyarakat dari Lampung Sai Batin yang terdapat di Lampung Barat, yang terkenal unik dan mengandung unsur budaya yang tinggi. Momen Visit Lampung Year 2009 ( Tahunn kunjungan wisata Lampung ), menurut Deden bisa dimampaatkan oleh pemerintah Lampung dan leding sektor yang ada untuk meningkatkan kunjungan wisatawan baik domestik maupun manca negara untuk mengunjungi Lampung.

Pemerintah Provinsi Lampung Kata kusnadi, bisa juga memaksimalkan peran pelaku dunia usaha dari pihak swasta untuk mendukung suksesnya Visit Lampung Year 2009. Dengan begitu katanya, ada sinergi antara pemerintah Provinsi Lampung dan pihak swasta untuk bersama –sama menyatukan visi dan misi untuk pengembangan dunia kepariwisataan Lampung di tahun – tahun mendatang. Dengan telah majunya dunia usaha Lampung, seperti tersedianya tempat – tempat wisata seterategis, serta tersedianya akomodasi pariwisata yang repesentatif seperti hotel, dan angkutan menuju lokasi tempat tujuan wisata. Dengan demikian jelasnya, akan banyak orang yang datang untuk berlibur dan menikmati alam dan budaya Lampung. Hal ini tentunya akan berdampak sangat luas untuk peningkatan ekonomi Lampung. (Wawan)

Sumber :
Denrinal, SE
http://www.koran-lampung.com/detail_berita.php?module=detailberita&id=1619&id_kategori=9
11 Februari 2009